Monday, 21 August 2017

Pesan Untuk Siswa Nusantara di Mancanegara

Teman-teman pasti penasaran kan gimana rasanya kuliah di luar negeri? Kalau melihat senior-senior lain yang sudah duluan berangkat, pasti kesannya enak banget kan. Tapi pernahkah teman-teman melihat atau mendengar apa saja keluhan yang dirasakan senior-senior kita yang sudah kuliah di luar negeri sana?

Foto: www.harvard.edu
Bukan maksud mematahkan semangat teman-teman untuk kuliah di luar negeri, tapi sebaliknya jadikan ini sebagai motivasi agar teman-teman lebih gigih bekerja lebih keras dan pantang menyerah untuk survive baik itu ketika mulai, saat kuliah, hingga proses akhir menuju selesai. Karena pengorbanan akan berbanding lurus dengan kesuksesan kita.

Berikut ini adalah Pesan untuk Siswa Nusantara di Mancanegara ditulis oleh salah satu senior kita yang sudah duluan kuliah di luar negeri yaitu I made Andi Arsana:

"Kamu mungkin sedang berjemur menikmati senda gurau musim panas di belahan bumi utara tapi di tanganmu ada setumpuk karya ilmiah yang harus dituntaskan. Aku tahu itu. Atau kamu mungkin sedang melawan gigil musim dingin di dekat Antartika sambil menyantap segelas cokelat panas untuk bertahan tapi di depanmu mungkin berserakan buku-buku yang harus dilahap. Kuliah esok hari tak memberimu waktu senggang karena masuk kelas tanpa membaca ibaratnya meluncur ke medan perang tanpa senjata. Aku tahu apa yang terjadi, percayalah.

Aku tahu, foto-foto yang kamu pajang di media sosial adalah hasil rekayasa perasaan. Senyum di depan hamparan tulip atau di depan sebatang jacaranda adalah kepalsuan akut karena kamu dihantui Bab 1 dan Bab 2 tesis yang nampak tak karuan. Selancarmu di perbukitan bersalju yang nampak lincah adalah hasil pelarian karena kamu bahkan tak tahu lagi bedanya bilangan asli dan bilang cacah. Aku tahu kamu terkekang oleh professor yang tiba-tiba bagimu seperti dalang yang memainkan wayang. Dan foto-foto yang kamu unggah di Instagram yang berlatar dataran tinggi berpinus atau danau yang tenang adalah penghibur bagi hati yang gersang karena ketidakpastian yang malang.

Adakah kamu merasa lebih bodoh dan semakin bodoh? Kamu di jalan yang benar, Kawan. Memang demikianlah perjalanan mengejar ilmu, hasilnya adalah pengakuan diri akan kebodohan dan ketidaktahuan. Adakah kamu kehilangan rasa percaya diri karena merasa apa yang kamu teliti ternyata sudah dipublikasikan orang lain? Kamu di jalan yang benar, Kawan! Maka temukanlah dirimu lama-lama menjauh dari kerumunan cendikia lalu bercerita hanya kepada orang-orang yang sederhana pemikirannya. Mengapa? Hanya di depan mereka kamu merasa sedikit berwibawa karena didengarkan dan dikagumi. Pemujamu adalah tukang parkir di belakang kampus, mbak pedagang coklat panas di kantin dan mas pembersih toilet kampus yang tak pernah peduli akan rumus.

Status Facebookmu boleh saja tentang politik mutakhir tanah air tetapi tak selalu itu terjadi karena pedulimu tiada akhir. Sebagian darinya adalah karena kamu tak kunjung temukan waktu yang tepat untuk melanjutkan Bab 3 disertasi yang kian basi. Status Facebook, unggahan Instagram, dan cuitan di Twitter tentang kritik masa depan bangsa mendapat tempat sempurna yang menjadi alasanmu tidak memulai membahas hasil percobaan di lab yang telah teronggok tiga pekan lamanya. Tiba-tiba saja, posisi pigura terlihat miring, magnet kulkas tidak rapi, tetesan air keran di sink dapur yang sangat menggangu, debu di atas meja terasa tebal, tirai jendela yang berisik, lantai rumah kurang di-vacuum dan setangkai sendok di dapur yang perlu dirapikan. Terlalu banyak hal yang mengganggu dan semua itu memberimu cukup alasan untuk tidak segera menulis landasan teori. Demikiankah yang kamu rasakan? Kamu di jalan yang benar, Kawan!

Akan ada yang menasihatimu, perjalananmu laksana melaju di sebuah terowongan gelap tanpa ujung. Percayalah, katanya, perjalanan ini mungkin lama dan tidak pasti tetapi suatu saat nanti akan ada titik terang di ujung sana dan kamu boleh tersenyum. Kamu akan meyakini itu adalah ujung terowongan. Yang tidak mereka katakan kepadamu adalah bahwa titik terang itu adalah kereta yang datang dari arah berlawanan, berpapasan sebentar dan selanjutnya gelap lagi. Bersiaplah.

Dan ketika waktu berlalu kian cepat, kamu tertinggal mengenaskan. Tergilas, nyaris lantak binasa dan tertatih di belakang. Maka semua menjadi menciut dan kian pragmatis. Kamu lupa, mimpi semula adalah ‘mengubah dunia’, yang kini tersisa adalah ‘yang penting paripurna’. Kamu memulai dengan idealisme, kamu tutup dengan pragmatisme. Tak lagi kamu temukan wibawa dan kehebatan dari membaca dan mendiskusikan kitab-kitab kenamaan yang menterang. Kamu sadari, perjuangan sesungguhnya ternyata bukanlah soal membaca tetapi menulis. Pencapaian, pada akhirnya bukanlah sejuta ide dari ratusan buku tetapi sepotong kecil ingatan dan pemahaman yang kamu sempat tuliskan menjadi buku.

Tapi diam-diam kamu sadari, membaca buku, betapapun kamu pikir tak berguna, adalah laksana menimbun pasir di kakimu. Yang kamu lakukan pada awalnya adalah mengangkat kaki, sekedar untuk menghindarkan agar kakimu tak tertimbun. Lambat laun, tanpa kamu rencanakan, akhirnya kamu temukan dirimu telah berdiri di atas tumpukan pasir yang tinggi. Berdiri di atas tumpukan pasir itu akan membuatmu mampu melihat di kejauhan. Dunia kian luas, semakin banyak hal yang kamu mengerti tanpa menghakimi.

Dan ketika saat penting itu tiba, kamu sedang ada di puncak kegalauan atau di tidik nadir kepercayaan diri. Kamu nyaris binasa dan meyakini kebodohan yang sempurna. Di saat itulah kamu akan serahkan sebuah buku tesis atau disertasi. Bukan karena kamu merasa telah tuntas, semata karena waktu dan beasiswamu telah tandas.

Seorang perempuan ramah di meja resepsionis menyambutmu penuh semangat. Senyum ramahnya yang berucap “Congratulation” adalah hal pertama yang membuatmu berpikir ulang tentang ketidakpastian yang menjangkitimu. Tepuk tangan teman-teman di grup media sosial yang menyelamatimu pelan-pelan menjalar menjadi energi. Likes yang berdatangan di unggahan fotomu di IG saat menyerahkan disertasi menjadi penyemangat. Pelan-pelan kamu mengangkat dagu dan mematut-matutkan diri seraya berbisik “oh, aku telah menyelesaikan sesuatu”. Dan kamu pun turut bertepuk tangan, bergembira, bersuka cita seakan-akan merayakan keberhasilan yang beberapa menit lalu kamu duga sebagai kegagalan. Kamu akan mengucapkan selamat datang pada kemerdekaan dan kepercayaan diri yang kini lebih tegar, lebih trengginas.

Yang mungkin belum sempat kamu duga adalah ketidakpastian baru yang sudah mengintip dan siap-siap menyergap. Dan ketika itu tiba-tiba datang di masa depan, entah darimana datangnya rindu. Kamu akan menginginkan lagi kekacauan, kegalauan, ketidakpastian berburu ilmu dan meyakini bahwa itulah saat terbaik dalam hidupmu. Selamat datang di lingkaran perjalanan yang tak berujung".

PS. Terinspirasi oleh pertemuan dengan Siti Noor Chayati, Gede Maha Putra, Davina Azalia Khan dan Nilam di UK beberapa saat lalu.

I made Andi Arsana

No comments:

Post a Comment

Ada yang ingin kuliah ke luar negeri tapi masih memperbaiki bahasa Inggrisnya?

Berikut coba kami ulas tips-tips penting untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris: 1.        Jangan pernah bilang tidak bisa bahas...